HAKIKAT MANUSIA MENURUT 5 KATEGORI
Hakikat Manusia Menurut Islam
Manusia
adalah salah satu makhluk ciptaan Allah SWt yang memiliki peranan penting dalam
kehidupan di muka bumi. Manusia juga dipandang sebagai makhluk yang paling
tinggi derajatnya dibandingkan makhluk Allah SWT bahkan Allah menyuruh para
malaikat untuk bersujud kepada Adam Alaihi salam. Masyarakat barat memiliki
pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa dan raga serta
dibekali dengan akal dan pikiran. Lalu bagaimanakah hakikat manusia dalam
pandangan islam?
Asal
Kejadian Manusia
Asal
usul manusia dalam Islam dapat dijelaskan dalam proses penciptaan manusia
pertama yakni nabi Adam As. Nabi Adam AS adalah manusia pertama yang diciptakan
Allah SWT dan diberikan ilmu pengetahuan dan kesempurnaan dengan segala
karakternya. Allah mengangkat Adam dan manusia sebagai khalifah dimuka bumi
sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut ini
“Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat “Sesungguhya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah dimuka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa engkau
hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan engkau?” Tuhan berfirman:”sesungguhnya aku mengetahui apa
yan tidak kamu ketahui”.(QS.Al-Baqarah : 30)
Proses
penciptaan manusia dijelaskan dalam al-Qur’an dan bahkan penjelasan dalam Alqur’an
ini kemudian terbukti dalam ilmu pengetahuan yang ditemukan setelah turunnya
Alqur’an. Ada lima tahap dalam penciptaan manusia yakni al-nutfah, al-‘alaqah,
al-mudhgah, al-‘idham, dan al-lahm sebagaimana yang disebutkan dalam ayat
berikut ini
”Dan
sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, dan
segumpal darah itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami
jadikan segumpal daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang(berbentuk)
lain. Maka Maha sucilah Allah, pencipta yang paling baik”. (QS. Al-Mu’minun ayat
12-14)
Tujuan
Penciptaan Manusia
Adapun
tujuan utama allah SWT menciptakan manusia adalah agar manusia dapat menjadi
khalifah atau pemimpin di muka bumi. Tugas utama manusia adalah beribadah dan
menyembah Allah SWt, menjalani perintahnya serta menjauhi larangannya.
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT berikut ini
“Tidaklah
Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah Aku.” (QS Adz Zariyat :56).
Sebagai
khalifah dimuka bumi manusia hendaknya juga dapat menjaga amanatnya dalam
menjaga alam dan isinya. Manusia sememstinya memiliki akhlak dan perilaku yang
baik kepada sesama maupun makhluk hidup yang lain.
Hakikat
Manusia Menurut Pandangan Islam
Dalam
agama islam, ada enam peranan yang merupakan hakikat diciptakannnya manusia.
Berikut ini adalah dimensi hakikat manusia berdasarkan pandangan agama islam
1.
Sebagai Hamba Allah
Hakikat
manusia yang utama adalah sebagai hamba atau abdi Allah SWT. Sebagai seorang
hamba maka manusia wajib mengabdi kepada Allah SWT dengan cara menjalani segala
perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Sebagai seorang hamba, seorang
manusia juga wajib menjalankan ibadah seperti shalat wajib, puasa ramadhan (baca puasa ramadhan dan fadhilahnya), zakat (baca syarat penerima zakat dan penerima zakat), haji (syarat wajib haji) dan
melakukan ibadah lainnya dengan penuh keikhlasan dan segenap hati sebagaimana
yang disebutkan dalam ayat berikut ini
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus …,” (QS:98:5).
2.
Sebagai al- Nas
Dalam
al- Qur’an manusia juga disebut dengan al- nas. Kata al nas dalam Alquran
cenderung mengacu pada hakikat manusia dalam hubungannya dengan manusia lain
atau dalam masyarakat. Manusia sebagaimana disebutkan dalam ilmu pengetahuan,
adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa keberadaan manusia lainnya
(baca keutamaan menyambung tali silaturahmi).
Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah SWT berikut
“Hai
sekalian manusia, bertaqwalaha kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istirinya, dan dari pada
keduanya Alah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah dengan (mempergunakan) namanya kamu saling meminta
satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.” (QS: An Nisa:1).
Sponsors Link
“Hai
manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu disisi
Allah adalah yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.”(QS:
Al Hujurat :13).
3.
Sebagai khalifah Allah
Telah
disebutkan dalam tujuan penciptaan manusia bahwa pada hakikatnya, manusia
diciptakan oleh Allah SWt sebagai khlaifah atau pemimpin di muka
bumi.(baca fungsi alqur’an bagi umat manusia)
“Hai
Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (peguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu. Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. …”(QS Shad:26).
Sebagai
seorang khalifah maka masing-masing manusia akan dimintai pertanggung
jawabannya kelak di hari akhir.
4.
Sebagai Bani Adam
Manusia
disebut sebagai bani Adam atau keturunan Adam agar tidak terjadi kesalahpahaman
bahwa manusia merupakan hasil evolusi kera sebagaimana yang disebutkan oleh
Charles Darwin. Islam memandang manusia sebagai bani Adam untuk menghormati
nilai-nilai pengetahuan dan hubungannya dalam masyarakat. Dalam Alqur’an Allah
SWT berfirman
“Hai
anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup
auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling
baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah,
semoga mereka selalu ingat. Hai anak Adam janganlah kamu ditipu oleh syaitan
sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, …” (QS : Al araf 26-27).
5.
Sebagai al- Insan
Tidak
hanya disebut sebagai al nas, dalam Alqur’an manusia juga disebut sebagai Al
insan merujuk pada kemampuannya dalam menguasai ilmu dan pengetahuan serta
kemampuannya untuk berbicara dan melakukan hal lainnya (baca hukum menuntut ilmu).
Sebagaimana disebutkan dalam surat Al hud berikut ini
“Dan
jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat, kemudian rahmat itu kami cabut
dari padanya, pastilah ia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” (QS: Al Hud:9).
Sponsors Link
6.
Sebagai Makhluk Biologis (al- Basyar)
Manusia
juga disebut sebagai makhluk biologis atau al basyar karena manusia memiliki
raga atau fisik yang dapat melakukan aktifitas fisik, tumbuh, memerlukan
makanan, berkembang biak dan lain sebagainya sebagaimana ciri-ciri makhluk
hidup pada umumnya. Sama seperti makhluk lainnya di bumi seperti hewan dan
tumbuhan, hakikat manusia sebagai makhluk biologis dapat berakhir dan mengalami
kematian, bedanya manusia memiliki akal dan pikiran serta perbuatannya harus
dapat dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.
Segala
hakikat manusia adalah fitrah yang diberikan Allah SWT agar manusia dapat
menjalankan peran dan fungsinya dalam kehidupan. Manusia sendiri harus dapat
memenuhi tugas dan perannya sehingga tidak menghilangkan hakikat utama
penciptaannya. (baca juga fungsi agama dalam kehidupan manusia dan hidayah Allah kepada manusia)
HAKIKAT MANUSIA SECARA UMUM
HAKIKAT MANUSIA
Secara umum, manusia merupakan salah satu jenis makhluk yang sudah ribuan abad
lamanya yang menghuni di muka bumi . Banyak argumen tentang apa yang dimaksud
manusia , sehingga pengertian manusia diartikan banyak oleh masyarakat umum.
Berikut pengertian manusia dengan berbagai pendapat :
Manusia adalah makhluk utama, yaitu diantara semua
makhluk natural dan supranatural, manusia mempunyai jiwa bebas dan hakikat yg
mulia.
Manusia adalah kemauan bebas. Inilah kekuatannya yg luar
biasa dan tidak dapat dijelaskan : kemauan dalam arti bahwa kemanusiaan telah
masuk ke dalam rantai kausalitas sebagai sumber utama yg bebas – kepadanya
dunia alam –world of nature–, sejarah dan masyarakat sepenuhnya bergantung,
serta terus menerus melakukan campur tangan pada dan bertindak atas rangkaian
deterministis ini. Dua determinasi eksistensial, kebebasan dan pilihan, telah
memberinya suatu kualitas seperti Tuhan
Manusia adalah makhluk yang sadar. Ini adalah kualitasnya
yg paling menonjol; Kesadaran dalam arti bahwa melalui daya refleksi yg
menakjubkan, ia memahami aktualitas dunia eksternal, menyingkap rahasia yg
tersembunyi dari pengamatan, dan mampu menganalisa masing-masing realita dan
peristiwa. Ia tidak tetap tinggal pada permukaan serba-indera dan akibat saja,
tetapi mengamati apa yg ada di luar penginderaan dan menyimpulkan penyebab dari
akibat. Dengan demikian ia melewati batas penginderaannya dan memperpanjang
ikatan waktunya sampai ke masa lampau dan masa mendatang, ke dalam waktu yg
tidak dihadirinya secara objektif. Ia mendapat pegangan yg benar, luas dan
dalam atas lingkungannya sendiri. Kesadaran adalah suatu zat yg lebih mulia
daripada eksistensi.
Manusia adalah makhluk yg sadar diri. Ini berarti bahwa
ia adalah satu-satuna makhluk hidup yg mempunyai pengetahuan atas kehadirannya
sendiri ; ia mampu mempelajari, manganalisis, mengetahui dan menilai dirinya.
Manusia adalah makhluk kreatif. Aspek kreatif tingkah
lakunya ini memisahkan dirinya secara keseluruhan dari alam, dan menempatkannya
di samping Tuhan. Hal ini menyebabkan manusia memiliki kekuatan ajaib-semu
–quasi-miracolous– yg memberinya kemampuan untuk melewati parameter alami dari
eksistensi dirinya, memberinya perluasan dan kedalaman eksistensial yg tak
terbatas, dan menempatkannya pada suatu posisi untuk menikmati apa yg belum
diberikan alam.
Manusia adalah makhluk idealis, pemuja yg ideal. Dengan
ini berarti ia tidak pernah puas dengan apa yg ada, tetapi berjuang untuk
mengubahnya menjadi apa yg seharusnya. Idealisme adalah faktor utama dalam pergerakan
dan evolusi manusia. Idealisme tidak memberikan kesempatan untuk puas di dalam
pagar-pagar kokoh realita yg ada. Kekuatan inilah yg selalu memaksa manusia
untuk merenung, menemukan, menyelidiki, mewujudkan, membuat dan mencipta dalam
alam jasmaniah dan ruhaniah.
Manusia adalah makhluk moral. Di sinilah timbul
pertanyaan penting mengenai nilai. Nilai terdiri dari ikatan yg ada antara
manusia dan setiap gejala, perilaku, perbuatan atau dimana suatu motif yg lebih
tinggi daripada motif manfaat timbul. Ikatan ini mungkin dapat disebut ikatan
suci, karena ia dihormati dan dipuja begitu rupa sehingga orang merasa rela
untuk membaktikan atau mengorbankan kehidupan mereka demi ikatan ini.
Manusia adalah makhluk utama dalam dunia alami, mempunyai
esensi uniknya sendiri, dan sebagai suatu penciptaan atau sebagai suatu gejala
yg bersifat istimewa dan mulia. Ia memiliki kemauan, ikut campur dalam alam yg
independen, memiliki kekuatan untuk memilih dan mempunyai andil dalam
menciptakan gaya hidup melawan kehidupan alami. Kekuatan ini memberinya suatu
keterlibatan dan tanggung jawab yg tidak akan punya arti kalau tidak dinyatakan
dengan mengacu pada sistem nilai.
Maka , secara umum manusia merupakan makhluk hidup yang
mempunyai akal pikiran dan hati nurani, sehingga dapat membedakan yang mana
yang baik dan mana yang buruk. Manusia juga makhluk hidup yang
paling sempurna di muka bumi ini baik dari sistem tubuhnya maupun dari
koordinasi dalam hidup kesehariannya
Sebagai mahluk yang tidak memiliki qudrah untuk
menguasai ruang dan waktu dalam hidup, kita sebagai manusia ciptaan Allah tentu
dan harus mempunyai suatu ukuran atau standart hidup. Karena kita tidak bisa
memastikan apakah kita mampu menjalankan amanah Allah sebagai makhluk yang
paling mulia atau malah tergilas dengan roda zaman.
Menurut Prof. DR. H. Hadari
Nawawi dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Dalam Islam, hakikat manusia
dalam pandangan Islam terbagi menjadi dua poin, yatu
· Manusia
sebagai ciptaan Allah
Hakikat pertama ini berlaku
pada umumnya manusia di seluruh jagad raya sebagai ciptaan Allah diluar alam
yang disebut akhirat. Alam ciptaan merupakan alam nyata yang konkrit sedangkan
alam akhirat merupakan ciptaan yang ghaib kecuali Allah yang bersifat ghaib
bukan ciptaan yang ada karena dirinya sendiri. Dalam firmanya , Allah berfirman
dalam surat Shad ayat 71 dan 72 sebagi berikut:
٧١. إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَراً
مِن طِينٍ
|
71. (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah". |
٧٢ فَإِذَا
سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ
|
72.
Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh
(ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".
|
· Kemandirian
dan Kebersamaan (Individualitas dan Sosialitas)
Kemanungalan
tubuh dan jiwa yang diciptakan Allah SWT , merupakan satu diri individu yang
berbeda dengan yang lain . setiap manusia dari individu memiliki jati diri
masing – masing. Jati diri tersebut merupakan aspek dari fisik dan psikis di
dalam kesatuan. Setiap individu mengalami perkembangan dan berusah untuk
mengenali jati dirinya sehingga mereka menyadari bahwa jati diri
mereka berbeda dengan yang lain. Surat al a’raf 189
· Manusia
Merupakan Makhluk yang Terbatas
Manusia yang memiliki
kebebasan dalam mewujudkan dirinya baik sebagai individu maupun
kelompok ternyata dtidak dapat melepaskan diri dari berbagai ketertarikan yang
membatasinya. Hal itu merupakan hakikat manusia yang dibawa sejak manusia
diciptakan oleh Allah SWT.
Manusia makhluk yang terbaik rohaniyah dan jasmaniyah,
tetapi mereka akan dijadikan orang yang amat rendah jika tidak beriman dan
beramal shaleh, lantas apa peran yang harus dimainkan oleh manusia untuk
mengangkat harkat, derajat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Allah dan
khalifah di muka bumi.
Beberapa pemikir dan filosof barat ada yang
mempunyai pandangan yang negatif terhadap manusia, dan menilai rendah
martabatnya. Ada yang menyamakannya secara general dengan binatang, seperti
serangga yang hina dan ulat yang kotor (russel) dan lain sebagainya. Tetapi
Al-qur’an berbeda dengan mereka, ia menempatkan manusia pada posisi yang mulia,
lebih mulia dari kebanyakan makhluk ciptan Allah. Firman Allah dalam Al-Qur’an:
“dan sesungguhnya telah kami mulyakan anak-anak
Adam, kami beri mereka rizqi dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami
ciptakan”.
Manusia mulia martabatnya karena mempunyai beberapa
kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya, antara lain :
1. Sruktur tubuhnya paling top dan ideal. Dalam istlah
Al-Qur’an “fii ahsani taqwiim “ dalam bentuk yang sebaik-baiknya, firman Allah
:
Allah memperindah rupa manusia “ ahsanah suwarokum” dan
dengan struktur yang sempurna dan seimbang, firman Allah :
“yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan
kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh )mu seimbang.
2. Manusia dikaruniakan akal fikiran, hati sanubari dan jiwa
(ruh) yang biasa mengangkat martabatnya di atas binatang dan beberpa makhluk
lainnya.
3. Manusia diberi hak menikmati dan mengekspoitasi makhluk
Allah sesuai dengan ketentuan dari ajaran-Nya seperti rotasi siang dan malam
(QS. Yunus 10 : 67) Bumi yang lapang, tenang dan gampang dijinakkan (QS.
Az-Zukhruf 46 :10) (QS. Ghafir 40 : 64) air untuk diminum dan irigasi (QS.
AL-Waqi’ah) 56 :68-69) (QS. As-Shaad 32 : 2) sungai dan laut untuk
transportasi dan agar digali serta dimanfaatkan isi kandungannya
(QS. Al-Jatsiyah 45: 12 ) dsb.
4. Allah SWT. mengangkat manusia sebagai khalifah di atas
muka bumi yang bertugas untuk mengejawantahkan dan mengimplementasikan syari’at
Allah secara adil ditengah-tengah makhluk-Nya (QS. Al-Baqarah 2 : 30) (QS. Shad
38: 20), sebagai pengemban amanah Allah (QS. Al-Ahzab 33: 72) dan penguasa
dunia apabila mereka beriman dan beramal shaleh (QS. An-Nuur 24 : 55)
5. Manusia mendapat suatu kehormatan yang besar dari Allah
SWT berupa terpilihnya sebagian dari merka sebagai Rasul dan Ambiyaa’-Nya, yang
membawa missi kerasulan dan kenabian untuk ummat manusia yang lain, bahkan Nabi
Besar Muhammad SAW, beliau membawa Rahmat untuk semesta alam.
Dari hal tersebbut di atas betapa pentingnya persiapan
SDM sehingga mampu melaksanakan missi yang diembankan dan diamanahkan
kepadanya, terbukti dengan bagaimana Allah SWT menyiapkan Nabi Adam di Surga
dengan bekal ilmu, keterampilan berkomunikasi dan pendidikan etika menghadapi
cobaan syetan dan hawa nafsu serta kesiapan untuk kewaspadaan tinggi menghadapi
godaan berikutnya dari Iblis. Juga proses penyiapan SDM kerasulan ini tampak
nyata dikalangan Ulum Azmi dan Nabi Muhammad SAW, terutama dalam menghadapi
beraneka ragam ujian, godaan dan tantangan yang datang silih berganti. Dalam
rangka implementasi kehendak Allah SWT, agar menjadikan kalimatullah hiyal ulya
dan kalimatul kafirin hiyas sufla searta terlaksananya Syari’at-Nya secara utuh
dan kaffah : Allah SWT memerintahkan kita agar menggalang potensi
ummat secara optimal agar musuh-musuh Islam merasa getir dan kalah mental.
Memahami makhluk
Tuhan yang bernama manusia sungguh sangat sukar. Berbagai macam pandangan para
tokoh mengenai manusia. Ahli mantic (logika) menyatakan bahwa manusia adalah “Hayawan
Natiq” (manusia adalah hewan berpikir), seorang ahli filsafat yaitu Ibnu Khaldun
menyatakan bahwa manusia itu madaniyyun bi al-thaba atau manusia
adalah makhluk yang bergantung kepada tabiatnya. Sedangkan Aristoteles
berpendapat bahwa manusia adalah “zoon political” atau “political animal
(manusia adalah hewan yang berpolitik).
Mengenai sifat
makhluk yang bernama manusia itu sendiri yakni bahwa makhluk itu memiliki
potensi lupa atau memiliki kemampuan bergerak yang melahirkan dinamisme, atau
makhluk yang selalu atau sewajarnya melahirkan rasa senang, humanisme dan
kebahagiaan pada pihak-pihak lain. Dan juga manusia itu pada hakikatnya
merupakan makhluk yang berfikir, berbicara, berjalan, menangis, merasa,
bersikap dan bertindak serta bergerak[1]
A. Mengenai
manusia ada beberapa filosof yang berbeda pendapat
Plato
Menurut Plato,
martabat manusia sebagai pribadi tidak terbatas pada mulainya jiwa bersatu
dengan raga, jiwa tidak berada lebih dulu sebelum manusia atau pribadi adalah
jiwa sendiri. Sedangkan badan oleh Plato yang disebut sebagai alat yang berguna
sewaktu masih hidup didunia ini, tetapi badan itu disamping berguna sekaligus
juga memberati usaha jiwa untuk mencapai kesempurnaan, yaitu kembali kepada
dunia “ide”.
Sedangkan jiwa
berada sebelum bersatu dengan badan. Persatuan jiwa dengan badan merupakan
hukuman, karena kegagalan jiwa untuk memusatkan perhatianya kepada dunia “ide”,
jadi manusia mempunyai Pra-eksistensi yaitu sudah ada sebelum dipersatukan
dengan badan dan jatuh kedunia ini.
Thomas Aquinas
Ia berpendapat
bahwa yang disebut manusia sebagai pribadi adalah makhluk individual, kalau
hidup, ialah makhluk yang merupakan kesatuan antara jiwa dan badan. Sedangkan
yang dimaksud pribadi adalah masing-masing manusia individual : manusia yang
konkret dan yang riil dan juga mempunyai kodrat yang rasional. Manusia adalah
suatu substansi yag komplit terdiri dari badan (material) dan jiwa (forma).
David Hcme
Berbicara mengenai
pribadi dalah idntitas diri yaitu kesamaan jati diri manusia dalam kaitannya
dengan waktu. Beliau berpegang teguh bahwa pengetahuan ilmiah hanya dapat
dicapaidengan titik tolak pengalaman indrawi yaitu penglihatan, penciuman,
perabaan, pencicipan dan pendengaran.
Immanuel Kant
Memahami pribadi
yaitu sesuatu yang sadar akan identitas numeric mengenai dirinya sendiri pada
waktu yang berbeda-beda beliau percaya bahwa identitas diripun tidak dapat
dipergunakan untuk menyanggah keyakinan bahwa segala sesuatu didunia ini selalu
mengalir berganti.
John Dewey
“pribadi” berarti
seseorang bertindak sebagai wakil dari suatu group atau masyarakat. Seorang
individu hanya bisa disebut pribadi kalau ia mengemban dan menampilkan
nilai-nilai social masyarakat tertentu.[2]
Jiwa Manusia
Jiwa manusia sering
dimengerti sebagai suatu benda halus atau suatu makhluk halus yang merasuki,
meresapi serta menggunakan badan untuk mewujudkan cita-cita jiwawi. Terkadang
pula jiwa manusia digambarkan atau dibayangkan persis seperti tubuhnya hanya
saja tidak bissa diraba atau ditangkap sifat dari jiwa juga tergantung pada
tarafnya..
Taraf tertinggi
yaitu rasional, didalam manusia mengandaikan dukungan dari taraf-taraf yang
lebih rendah, yaitu taraf anarganik (benda mati) taraf vegetatif (tumbuhan) dan
taraf sensitive (binatang).
Dalam taraf
rasional atau manusia pembaharuan merupakan peristiwa yang terus menerus
terjadi. Pembaharuan menjadi begitu efektif didalam sejarah kehidupan manusia,
karena didalam diri manusia terdapat kesadaran intelektual yang mempunyai
kemampuan sangat efektif untuk menyederhanakan pengalaman dan memberi tekanan
kepada segi yang dianggap pentingsambil menyingkirkan yang dianggap tidak
relevan.
Kemampuan itu
disebut kemampuan abstraksi, kemampuan abstraksi disisni berfungsi rasiio atau
budi ssebagai yang menjalankan pemerintah atas keseluruhan ataupun
bagian-bagian didalam manusia.
Didalam manusia
terdapat 2 sumber bagi munculnya kebaruan yang satu merupakan hasil dari
koordinasi yang ketat dari tubuh manusia sebagaimana juga terdapat pada
binatanng, dan yang lain dari identitas yang hebat dari fungsi intelektual.
Perlu disadari
bahwa budi tidak identik dengan jiwa, budi meskipun menduduki posisi tertinggi
dan memegang dominasi atas bagian-bagian lain, hanyalah bagian dari jiwa, jiwa
manusia adalah keseluruhan kompleks kegiatan mental dari taraf yang paling
rendah sampai yang palling tinggi emosi, kenikmatan, harapan, ketakutan,
penyesalan, penilaian dari macam-macam pengalaman mental innilah yang merupakan
unsure-unsur pembentukan “jiwa manusia”, dan jiwa manusia itu ditandai dengan
mental.
Taraf pengalaman
mental manusia terdiri dari penngalaman-pengalamn mental yang begitu kompleks,
kegiatan mental yang kompleks ini merupakan kesatuan dari emosi, rasa senang
(enjoyment), harapan, kehawatiran dan ketakutan penyesalan penilaian terhadap
macam-macam alternatif serta macam-macam keputusan, pengalaman mental mempunyai
dasarnya didalam pengalamn fisik.
Badan juga
berfungsi sebagai bidang ekspresi manusia. Jiwa manusia adalah kesatuan
kompleks dari kegiatan mental, dari yang paling rendah ke yang bersifat
intelektual.[3]
Mengenai kedudukan
manusia yang palinng menarik adalah sendiri dalam lngkungan yang diselidiki
pula. Ternyata penyelidikan mengenai lingkungan ini lebih (dianggap) memuaskan
dari pada penylidikan tentang manusia itu sendiri.[4]
Bicara masalah
hidup manusia itu memang unik, hidup adalah aktivitas, dan segala aktivitas
membawa besertanya masalah-masalh tertentu. Masalah-masalah termaksud harus
dipecahkan dengan berhasil untuk menjadikan manusia itu sesuatu yang sukses.
Masalah-masalah tesebut dibagi 2 kategori, yaitu masalah immediate problem dan
masalah asasi(utimmate problems)
Immediate problems
ialah masalah-maslah praktis sehari-hari , masalah yang kemballi kepada
keperluan-keperluan pribadi yang mendesak dan masalah seperti :administrasi
negara, produksi, konsumsi dan distribusi. Kemudian masalah asai manusia , maka
setiap manusia yang memperhatikan hidup dengan serius akan mendapatkan drinya
berhadapan muka dengan masalah-masalah asasi tersebut. Setelah dia merasakan
desakan beban dan liku-liku hidup.[5]
Manusia Mempunyai
Pengetahuan
Pengetahuan
merupakan bagi makhluk yang mempunnyainya apakah dia manusia, malaikat atau
banatang suatu kekayaan dan kesempurnaan. Dengan adanya pengetahuan yang
dimilikinya manusia bisa memahami dirinya sendiri dan keberadaanya. Pengetahuan
lebiih merupakan suatu cara berada dari pada suatau cara mempunyai. Aktifitas
itu tidak berupa penyitaan atau pemilikan benda-benda sebaliknya berupa
keterbukaan terhadap mereka.
Jadi pengetahuan
adalah suatu kegiatan mempengaruhi subjek yang mengetahui dalam dirinya. Dia
adalah suatu ketentuan yang memperkaya eksistensi subyek.[6]
Seputar Manusia
Kita menyadari diri
kita meskipun sebagai satu kesatuan yang utuh, namun diri kita jelas terdiri
dari bagian-bagian dan aspek-aspek yang begitu kaya, terdiri dari badan dan
jiwa yang masing-masing kegiatan, kemampuan dan gaya serta perkembanganya
sendiri.
Para pendukung
fanatik tradisi, yang boleh disebut kaum konservatif, kurang lebiih berpegang
pada keyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, tidak tetap dan tidak
dapat diramalkan secara logis. Sebab kodrat manusia telah rusak berat dan tidak
tersembuhkan karena telah dicederai oleh dosa asal, atau sejenis itu. Sedangkan
para pendukung revolusioner, yang biasanya disebut kaum liberal berpendapat
bahwa manusia pada hakikatnya baik dan bisa mencapai kesempurnaan.
Mengenai badan
manusia dan strukturnya didalam ini berproses secara sederhana biasa dkatakan
bahwa kutub fisi berfungsi secara husus pada wal proses. Kutub fisiklah yang
menangkap atau menerima bahan atau penelolaan yang telah disajikan oleh dunia,
sedangkan kutub mental berkegiatan untuk mengelola bahan tersebut sampai pada
tahap kepenuhan diri.
Dengan demikian
menjadi jelas bahwa badan harus dimengerti secara luas, yaitu sebagai hasil
dari seluruh proses yang bersifat obyektif, tidak berubah dan menjadi bahan
bagi kutub fisik dari pengada-pengada baru. Didalam pengertian yang digunakan
disi, badan bukan hanya terbatas pada tubuh, tetapi segala bentuk ekspresi yang
bisa diamati pada manusia yang telah selesai berproses setiap saatnya, misalnya
saja termasuk didalamnya, bagaimana seorang tertawa, menangis, berjalan, lari,
duduk, tidur dan seterusnya untuk saat ini kita memusatkan perhatian kita pada
tubuh manusia.[7]
Kegiatan dari
macam-macam kegiatan mental disebut jiwa manusia sedangkan kegiatan mental dari
unsure tertinggi membentuk budi atau rasio manusia.[8]
Pada dasarnya atau
pada hakikatnya hidup manusia adalah pengalaman bersama, hidup manusia, bahkan
didalam unsure-unsurnya yag paling individual, merupakan kehidupan bersama dan
tingkah laku manusia, didalam strukturnya yang asasi, yang selalu menunjukkan
kepada pribadi.
Dengan singkat
boleh dikatakan bahwa manusia adalah anak masyarakat. Contohnya : bila
masyarakat menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan memandang rendah sikap
menonjolkan diri, sifat ini akan mempengaruhi, anak-anaknya untuk bertindak
berfikir dengan cara yang sama.[9]
HAKIKAT
MENURUT PARA AHLI
Ranah
dalam Filsafat dalam mempertanyakan banyak hal yang mengarah ke hal paling
dasar mengenai kepahaman manusia mengenai hakikat manusia sendiri. Oleh karena
itu filsafat dibutuhkan oleh orang yang memberikan petunjuk dan konseling.
Dalam tulisan ini akan saya paparkan mengenai pandangan tiap ahli filsafat
mengenai hakikat manusia. Dan bisa jadi nanti anda jadikan quote.
Hakikat
Manusia Menurut Socrates
Pemikir
hebat di Yunani yang memberikan sumbangsihnya dengan membantu terbentuknya
fondasi filsafat di Barat. Metode yang ia gunakan dan konsep yang ia paparkan
telah membantu terbentuknya dunia fisafat barat. Penolakannya terhadap kompromi
mengenai integritas intelektualnya membuatnya menghadapi hukuman mati.
Pandangan Socrates mengenai hakikat manusia :
Manusia
adalah seorang yang rasional. Manusia mungkin bervariasi dalam kemampuan
rasionalitasnya, mungkin mereka dapat kekurangan secara mental, atau mungkin
mereka malah menolak kerasionalitasan. Tetapi bagaimanapun juga definisi
hakikat manusia secara universal tetaplah memegang kebenaran.
Manusia
dapat membedakan kebajikan, pengetahuan dari ketidaktahuan.
Manusia
dapat mengetahui kebaikan, dari mengetahuinya dia dapat mengikutinya. Untuk kepada
orang yang tidak mengenal kebaikan dia akan memilih mengikuti keburukan.
Hakikat
Manusia Menurut Plato
Seorang
filsuf dan matematikawan, murid dari Socrates. Pandangan dan metodenya juga
telah membantuk terbentuknya fondasi dunia filsafat barat. Ranah pemikirannya
sampai kepada, etic, logika, filsafat, agama, retorik dan matematika. Hakikat
manusia menurut plato adalah :
Setiap
manusia lahir dengan memilki kebutuhan biologis masing-masing.
Tugas
paling mendasar dari jiwa manusia adalah untuk mengejar pengetahuan.
Kebutuhan
dari jiwa yang menginginkan pemurnian dari badannya, dan jiwa tersebut tidak
akan dapat murni sampai dia mati.
Bagian
paling rasional dari jiwanya adalah bagian yang dapat mendapatkan kebenaran.
Ini adalah tugas dari yang tercerahkan.
Jiwa
memiliki tiga bagian, yang mempertanyakan, semangat, dan hasrat.
Jika
manusia tidak berkecimpung di dalam sebuah kelompok, dia tidak akan bertahan.
Interaksi
sosiallah yang membuat kita benar-benar manusia.
- Bahasa merupakan salah satu
kajian yang menarik dalam menggungkapkan siapa sebenarnya manusia karena bahasa
diujarkan dalam berbicara yang termasuk gejala yang terang dan sering dibahas
dalam pemikiran kontempoler.
modul ini sepenuhnya disadur dari modul
Filsafat Manusia karya Juneman
I. Mengapa Mulai (Pembahasan Filsafat Manusia) dengan Perbuatan Berbicara?
Ada tiga macam keuntungan kalau kita memulai filsafat tentang manusia dengan suatu studi tentang perbuatan berbahasa atau juga berbicara.
Pertama, berbicara adalah suatu gejala yang terang. Nampaknya, sebagian besar manusia di dunia kini menghabiskan waktunya dengan bahasa. Para sastrawan menemukan jati dirinya lewat bahasa. Para hakim, jaksa, pengacara, dosen, wartawan, penulis, penyiar radio-televisi, perancang iklan, dsb, memperoleh nafkahnya dari kemahiran berbahasa. Bahasa meluber di tempat kita bekerja, di kantor, di bengkel, di toko, atau di mal-mal. Berdebat di ruang pengadilan, belajar di bangku kuliah, mengisi teka-teki silang di kamar penjara, membeli tahu-tempe di pasar, semuanya berjalan dengan perantaraan bahasa.
Bahasa memang memiliki kemampuan untuk menyatakan lebih daripada apa yang disampaikan. Bahasa lebih dari sekadar alat mengkomunikasikan realitas; bahasa merupakan alat untuk menyusun realitas. Efek wilayah tak-sadar manusia pun bahkan dapat dilihat dalam bahasa dan seringkali tampil dalam bentuk salah ucap (misal, keseleo lidah, kelupaan akan nama, dan sebagainya). Wacana komunikasi umumnya terganggu karena wilayah tak-sadar mengalami gangguan tetapi menurut keteraturan struktural tertentu.
Dengan cara ini, psikoanalis Perancis, Jacques Lacan, menghubungkan yang tak-sadar dengan bahasa. Dalam perspektif semiotika, bahasa adalah rantai penandaan. Apabila di dalam praktik bahasa, rantai penandaan terputus, maka terjadi gangguan dalam proses reproduksi bahasa, sehingga menghasilkan apa yang disebut Jacques Lacan sebaga “bahasa skizofrenia”—salah satu bahasa dominan posmodernisme.
Suatu kenyataan yang tidak bisa luput dari perhatian setiap orang adalah pengalamannya bahwa dalam masyarakat manusia yang bagaimanapun bentuknya, selalu terdapat suatu bahasa yang cukup rumit susunannya. “Antara jeritan yang paling jelas dari hewan mengajak kawannya berkencan atau memberi peringatan atau menunjukkan marahnya, dengan perkataan manusia yang paling tak mengandung arti, terdapat tahapan evolusi yang luas.” (Langer). Bahasa berbeda sifatnya dari semua sistem komunikasi antara hewan, berhubung dengan bahasa bersifat simbolis; artinya suatu perkataan mampu melambangkan arti apapun, walaupun hal atau barang yang dilambangkan artinya olah kata itu tidak hadir. Hal ini mengandung implikasi yang hebat untuk pewarisan kebudayaan.
Kedua, tema bahasa atau pun wicara merupakan salah satu tema yang terpilih dan disukai oleh pemikiran kontemporer. Bahkan, sejak dahulu, para ahli pikir menyebut manusia sebagai makhluk yang dilengkapi dengan tutur bahasa (istilah animal rationale berpangkal pada istilah Yunani logon ekhoon: dilengkapi dengan tutur kata dan akal budi). Istilah Yunani logos menunjukkan arti sesuatu perbuatan ataupun isyarat, inti sesuatu hal, cerita, kata ataupun susunan. Logos menunjukkan ke arah manusia yang mengatakan sesuatu mengenai dunia yang mengitarinya. Maka itu, para filsuf Yunani berbicara sekaligus mengenai logos di dalam manusia sendiri (kata, akal budi) dan logos di dalam dunia (arti, susunan alam raya). Logos berarti mengatakan sesuatu yang komponennya berkaitan yang satu dengan yang lain, karenanya menyesuaikan diri, mendengarkan; kenyataan yang kita tuturkan lewat kata-kata sekaligus terangkum dalam istilah “logos” itu (van Peursen).
Bahasa, menurut Gadamer, bukanlah suatu perlengkapan yang melengkapi manusia di dunia ini. Di dalam dan pada bahasa terletak kenyataan bahwa manusia mempunyai dunia. Keberadaan dunia diletakkan secara bahasa. Di dalam bahasa, aspek-aspek dunia terungkap. Mempunyai dunia adalah serentak juga mempunyai bahasa. “Melalui ‘kata dan logat yang tepat‘, seseorang dapat menggerakkan dunia,” kata Joseph Conrad (Brussell, 1988). Inilah kekuatan bahasa, kekuatan kata-kata, the power of words; inilah yang membedakan manusia dengan binatang.
Bagaimana bahasa perlahan-lahan berkembang sebagai tema sentral filsafat Barat, dapat dilihat dan ditelusuri dengan cara berikut (Sugiharto, 1996):
1.
Pada
periode Frege, Husserl, Wittgenstein awal, dan Carnap, bahasa dipahami
secara—meminjam peristilahan Derrida—logosentris. Dimensi-dimensi dasar bahasa
dianggap hanya tampil dalam fungsi-fungsi logisnya, misalnya dalam bentuk
penilaian, pernyataan, dan representasi.
2.
Kemunculan
filsafat bahasa sehari-hari tahun 1950-an, dalam kategori “speech-act” maupun
dalam teori-teori yang bersifat pragmatik (Austin, Grice, Searle), bahasa
dilihat dalam sifat kontekstual dan pragmatisnya. Bagi Wittgenstein-tua,
misalnya, bahasa hanya dapat dimengerti dalam kerangka “bentuk-bentuk
kehidupan” yang merupakan konteks bagi pemakaian bahasa itu. Di dalam Speech
Acts, J.R. Searle mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga
jenis tindakan yang mungkin diwujudkan oleh seorang penutur di dalam berbahasa,
yakni tindakan untuk mengungkapkan sesuatu (locutionary act), tindakan
melakukan sesuatu (illocutionary act), dan tindakan mempengaruhi lawan bicara
(prelocutionary act). Secara berturut-turut, ketiga jenis tindakan itu disebut
sebagai the act of saying something, the act of doing something, dan the act of
affecting something. Ketiga, sebagian terpengaruh oleh perkembangan di luar
filsafat sendiri, yaitu di wilayah susastera dan kritik teks umumnya, sebagian
lagi merupakan perkembangan lanjut dari dunia filsafat sendiri; bahasa akhirnya
dilihat nilai intrinsiknya, dikaji ulang hakikat dan fungsinya. Tahap ketiga
ini melibatkan semiotika, strukturalisme, hermeneutika, dan post-strukturalisme.
3.
Perbuatan
berbahasa menggambarkan keseluruhan manusia atau manusia secara menyeluruh.
Louis Hjelmslev mengatakan bahwa suatu bahasa selalu mempunyai dua segi, yaitu
segi ekspresi dan segi isi. Apabila segi ekspresi adalah segi seleksi kata-kata,
maka rangkaian kata-kata tadi dapat memberikan arti khusus, yaitu umpamanya
dengan memindahkan tempat kata=lata sehingga didengar lebih indah dan halus.
Hal ini sering dilakukan oleh puisi. Selain itu, Hjelmslev juga mengatakan
bahwa bahasa mempunyai bentuk dan substansi. Substansi adalah kata atau
ungkapannya, sedangkan bentuk adalah apa yang diberi oleh pembicara kepada kata
yang dipakainya. Melalui bentuk yang dipilih oleh pembicara, maka suatu kata
memperoleh arti dan makna. Tergambar jelas dari uraian ini, dalam perbuatan
berbicara, seluruh pribadi manusia itu, tersangkut badan dan jiwa, pancaindera,
dan roh, yaitu manusia secara konkret, dalam sikapnya yang paling biasa dan
dalam hubungannya dengan orang lain.
II. Apa yang Dimaksudkan dengan Berbicara dan Mengisyaratkan?
Manusia adalah homo semioticus, menurut van Zoest (1993). Kata semiotika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” atau seme yang berarti “penafsir tanda”. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain; contohnya, asap menandai adanya api.
Apabila diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra, misalnya, kerap diperhatikan hubungan sintaksis antara tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan (semantik). Sebuah teks dan semua hal yang mungkin menjadi “tanda” bisa dilihat dalam aktivitas penanda, yakni suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan interpretasi. Perhatikan rumusan berikut: S (s, i, e, r, c). S adalah untuk semiotic relation; i untuk interpreter, e untuk effect; r untuk reference; dan c untuk context atau conditions.
Meski dalam semiotika manusia disebut sebagai homo semioticus, namun—sejak Ernst Cassirer dan Susanne Langer—dalam kepustakaan filsafat, manusia kerap pula disebut sebagai animal simbolicum. Maka itu, jika disandingkan, kedua pengertian atau sebutan ini tentu saja memerlukan penjelasan tentang persamaan dan perbedaannya. Jelas bahwa perbedaan ―animal” dan “homo” sudah memunculkan problematika, terutama mereka yang tidak akrab dengan pemikiran ilmu-ilmu alam, apalagi teori evolusi menganggap sebutan ―animal” untuk manusia itu dianggap penghinaan.
Pemikiran Ernst Cassirer memang dilatarbelakangi oleh pemikiran biologi dan psikologi hewan, sehingga bagi Cassirer, fungsi dan kebutuhan simbolisasi manusia dijabarkan sebagai ciri khas manusia dan sekaligus ciri keagungannya. Gagasan Cassirer didasari oleh prinsip-prinsip biosemiotik von Uexkull yang diterapkan pada manusia, sehingga dengan memperoleh sistem simbolis, ia memperoleh sebutan baru, animal simbolicum.
Walaupun kita menggunakan raut-muka dan gerak-gerik untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran yang bersahaja, wahana utama kita untuk bertukar informasi adalah bahasa. Keselamatan kita, sebagai “hewan sosial”, tergantung pada kemampuan kita berbicara dan mengerti; dan keampuhan kebudayaan modern berasal dari terciptanya tulisan barang lima ribu tahun yang lalu. Semua peradaban besar di dunia ini sekarang dibangun di atas dasar manfaat tulisan dan bacaan. Perpustakaan, dengan segala rekaman bahasa yang berada di dalamnya, merupakan khazanah pengetahuan insani.
Perkembangan evolusioner bahasa pastilah terpacu oleh keunggulan yang berasal dari membaiknya lalulintas informasi, namun peranan bahasa lebih daripada wahana komunikasi. Bahasa terkait erat dengan proses nalar, tetapi apakah hubungan antara bahasa dan nalar? Biasanya kita memakai bahasa untuk bernalar, tetapi apakah keduanya benar-benar saling terkait? Dapatkah kita bernalar tanpa bahasa? Bagaimana kita dapat mengukuhkan atau menyanggah hal ini? Para sarjana telah bergulat dengan pertanyaan ini sejak lama. Claude Lévi-Strauss pesimis bisa memberi jawaban, “Bahasa adalah salah satu bentuk nalar manusia, dan punya nalar sendiri yang manusia tidak mengetahuinya.” Bila kita membandingkan bahasa dan nalar, kita melihat keduanya punya banyak persamaan. Masing-masing merupakan produk biologis, agaknya berkembang untuk memperbaiki organisasi dan kerjasama sosial. Masing-masing dapat membantu kita mencapai tujuan, namun tidak dapat menentukan apa tujuan kita itu.
Agar bisa bernalar, kita harus berpikir. Sebelum beranjak ke soal apakah bernalar dapat terjadi tanpa bahasa, kita harus lebih dulu bertanya secara lebih umum: Bisakah kita berpikir tanpa bahasa? Gilbert Ryle beranggapan bahwa “sebagian besar kegiatan berpikir kita sehari-hari berlangsung sebagai monolog batin atau percakapan sendiri dalam hati (silent soliloquy), biasanya disertai dengan gambar hidup yang berputar dalam batin.” Samuel Johnson mengatakan, “Bahasa adalah busana pikiran.” Dengan istilah teknis dan filosofis, Colin McGinn mengajukan pertanyaan inti, “Apakah bahasa sekadar pantulan pikiran bersifat sesaat (contingent manifestation of thought), yang diperlukan hanya untuk menyampaikan pikiran kepada orang lain, atau mestinya kita berkata bahwa bahasa merupakan darah-daging pikiran (the stuff of thought), wahananya yang mutlak perlu?” Colin McGinn mengakui kesulitan menjawabnya, dan mengambil sikap sementara ini belum ada jawaban yang memuaskan.
J.J. Jenkins memberikan tiga hipotesis: (1) pikiran tergantung pada bahasa; (2) pikiran adalah bahasa; dan (3) bahasa tergantung pada pikiran. Jenkins memberikan bukti yang mendukung setiap hipotesis tersebut, mengakui bahwa bukti-bukti itu banyak benarnya, dan menyimpulkan bahwa jawaban yang betul adalah “semua yang telah disebutkan itu.” Filsuf lain mengambil sikap yang lebih pasti. Kant berpendapat bahwa berpikir adalah “bicara pada diri sendiri”. Max Müler lebih jauh lagi; ia menulis buku berjudul The Science of Thought: No Reason without Language; No Language without Reason. Isinya antara lain berjudul ―Language and Thought Inseparable” (Bahasa dan Pikiran Tak-terpisahkan), di mana Müler menegaskan, ―Apa yang sudah terbiasa kita sebut pikiran tidak lain daripada satu sisi mata uang logam yang sisi lainnya adalah bunyi yang bertekanan (articulate sound), sementara mata uang logam itu tunggal tak terbelah, jadi bukan pikiran bukan juga bunyi, tetapi kata (word).
Hannah Arendt juga sama pasti dan tanpa tedeng aling-aling, ―Tiada pikiran tanpa wicara (speech).” Ludwig Wittgenstein mengatakan hal yang sama, “Batas-batas bahasa saya adalah batas-batas dunia saya.” Filsuf besar lainnya berpendapat sebaliknya, yakni bahwa bahasa dapat dipisahkan dari pikiran. John Locke menganggap kata-kata terkadang sanggup mengungkapkan pikiran, tetapi terkadang tidak. Jean Piaget menunjukkan bahwa proses mental pada anak-anak terjadi sebelum mereka kenal bahasa; lantas ia menyimpulkan bahwa pikiran dan bahasa merupakan dua hal yang berbeda.
Frank Benson mengembangkan argumen yang serupa, lalu sampai pada kesimpulan bahwa bahasa dan pikiran merupakan dua fungsi otak yang terpisah. Filsuf senantiasa mengakui pentingnya bahasa. Beberapa tahun belakangan ini mazhab analisis bahasa dalam filsafat telah menegaskan bahwa banyak soal filosofis timbul akibat bahasa yang kacau dan salah-pakai, sehingga perumusan kembali bahasa dengan teliti dan cermat mestinya dapat mengatasi soal-soal itu. Di mana-mana kita dapat saksikan the linguistic turn, dalam hal mana refleksi filosofis berbalik kepada bahasa. Malahan tidak sedikit aliran mengambil bahasa sebagai pokok pembicaraan yang hampir eksklusif, seperti misalnya, hermeneutika, strukturalisme, semiotika, dan filsafat analitis.
Sikap ini tidak terlalu memuaskan bagi seorang biolog yang berusaha memahami bahasa sebagai hasil evolusi. Pendekatan yang lebih berguna adalah menganggap “arti” sebagai mata-rantai yang menghubungkan kalimat dan pikiran; kalimat “berarti” pikiran yang ditimbulkannya. Pikiran akan menimbulkan kalimat, dan kalimat kembali akan memantulkan pikiran. Pendapat bahwa “arti” adalah mata-rantai yang menghubungkan kata dan pikiran memberikan suatu definisi kerja yang berguna, sekalipun sangat menyederhanakan.
Komentar
Posting Komentar